BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Revolusi Sosial Sumatera Timur adalah
gerakan sosial di Sumatera Timur oleh rakyat terhadap penguasa kesultanan Melayu yang
mencapai puncaknya pada bulan Maret 1946. Revolusi ini dipicu oleh gerakan kaum
komunis yang hendak menghapuskan sistem kerajaan dengan alasan antifeodalisme.
Revolusi melibatkan mobilisasi rakyat yang berujung pada pembunuhan anggota
keluarga kesultanan Melayu yang dikenal pro-Belanda namun juga golongan menegah
pro-Republik dan pimpinan lokal administrasi Republik Indonesia
Diakibatnya, sulitnya komunikasi dan transportasi,
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus baru dibawa oleh Mr. Teuku Muhammad Hasan selaku Gubernur Sumatra dan Mr. Amir selaku Wakil
Gubernur Sumatra dan diumumkan di Lapangan Fukereido (sekarang Lapangan
Merdeka), Medan pada
tanggal 6 Oktober 1945. Pada tanggal 9 Oktober 1945 pasukan AFNEI dibawah
pimpinan Brigjen T.E.D. Kelly mendarat di Belawan. Kedatangan
pasukan AFNEI ini diboncengi oleh pasukan NICA yang dipersiapkan untuk
mengambil alih pemerintahan dan membebaskan tawanan perang orang-orang Belanda
di Medan.
Pada pertengahan abad ke-19, perkebunan tembakau
tumbuh dengan pesat di wilayah kesultanan Deli
sehingga mengakibatkan migrasi buruh (koeli) perkebunan yang diangkut
oleh Belanda. Pada awal abad ke-20, hampir separuh penduduk Sumatra Timur
adalah buruh pendatang yang banyak dieksploitasi oleh Belanda.
Meletusnya revolusi sosial di Sumatera Utara tidak
terlepas dari sikap sultan-sultan, raja-raja dan kaum feodal pada umumnya, yang
tidak begitu antusias terhadap kemerdekaan Indonesia karena setelah Jepang
masuk, pemerintah Jepang mencabut semua hak istimewa kaum bangsawan dan lahan perkebunan
diambil alih oleh para buruh. Kaum bangsawan tidak merasa senang dan berharap
untuk mendapatkan hak-haknya kembali dengan bekerja sama dengan Belanda/NICA,
sehingga semakin menjauhkan diri dari pihak pro-republik. Sementara itu pihak
pro-republik mendesak kepada komite nasional wilayah Sumatera Timur supaya
daerah istimewa seperti Pemerintahan swapraja/kerajaan dihapuskan dan
menggantikannya dengan pemerintahan demokrasi rakyat sesuai dengan semangat
perjuangan kemerdekaan. Namun pihak pro-repbulik sendiri terpecah menjadi dua
kubu; kubu moderat yang menginginkan pendekatan kooperatif untuk membujuk kaum
bangsawan dan kubu radikal yang mengutamakan jalan kekerasan dengan
penggalangan massa para buruh perkebunan.
Revolusi Sosial terjadi di Tanah karo,di Simalungun (Kerajaan Panei, Tanoh Jawa,Kerajaan
siantar,Kerajaan Purba, Kerajaan Silimakuta,Kerajaan Dolog silau,Kerajaan
Raya), di Melayu (Asahan,Labuhan batu,Kesultanan Serdang,Kesultanan
Deli,Kesultanan Langkat,Batu Bara,Kota Pinang).
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas adapun
rumusan masalahnya yaitu sebagai berikut :
1)
Bagaiamana kehancuran pemerintahan raja – raja ?
2)
Bagaimana persatuan perjuangan dan polarisasi yang
terjadi di Sumatra Timur?
3)
Bagaimana proses berlangsungnya “malam berdarah” ?
4)
Bagaiamana revolusi atau perebutan kekuasaan yang
terjadi di Sumatra Timur?
5)
Apakah reaksi yang terjadi di Sumatra Timur akibat
Revolusi Sosial?
C. Tujuan
Adapaun tujuan penulisan makalah
ini, yaitu :
1)
Untuk mengetahui kehancuran pemerintahan raja – raja
2)
Untuk mengetahui persatuan perjuangan dan polarisasi
yang terjadi di Sumatra Timur
3)
Untuk mengetahui proses berlangsungnya “malam
berdarah”
4)
Untuk mengetahui revolusi atau perebutan kekuasaan
yang terjadi di Sumatra Timur
5)
Untuk mengetahui reaksi yang terjadi di Sumatra Timur
akibat Revolusi Sosial
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hancurnya Pemerintahan Raja – raja
Perpecahan
timbul di kalangan kerajaan dan kelompok – kelompok pemuda pejuang yang terjadi
di Sumatra Timur berkembang semakin parah. Pemuda sesungguhnya memiliki
kekuatan fisik, tetapi mereka terpecah belah sehingga usaha tersebut hanya
menimbulkan hantu anarki. Disatu sisi pihak kerajaan tetap mempertahankan
pemerintahannya yang semakin tersisih perlahan – lahan dari tangga kekuasaanya.
Pengaruh raja – raja Melayu dan Simalungun sekarang hanya terbatas pada
pengikut – pengikut sesukunya sendiri di daerah – daerah pedesaan.
Kekacauan
yang terjadi sebenarnya sudah dicegah oleh Mr. Hasan dan Wakil gubernurnya Dr,
Amir namun kemampuan keduanya belum berhasil untuk itu. Sewaktu Mr. Hasan
berada berada di Aceh pada pertengahan Desember, Dr. Amir bersama Mr. Laut dan
dua pemimpin dari Sumatra Barat, Adinegoro dan Dr. Djamil berangkat ke Jakarta
atas tawaran sekutu. Dengan menerima tawaran ini, Dr. Amir berarti sudah tidak
lagi memperkuat posisinya. Inggris bermaksud menghadapkan tokoh – tokoh Sumatra
ini agar menerapkan pengaruh politik moderat dan pragmatis Sjahrir dan Amir
Sjarifuddin. Setelah kembali dari Jakarta
pada tanggal 3 Januari, Dr.Amir semakin dicurigai dengan keterangannya
yang mengatakan “Pemerintah Republik di Jawa menganggap Sumatra secara politik
dan ekonomi tidak tergantung pada Jawa dan bebas menjalankan setiap tindakan
yang tidak bertentangan dengan kepentingan Republik”. Akibat pernyataannya tersebut
beberapa pemuda mencoba menculik Amir sehingga Mr. Hasan terpaksa membuat
pernyataan tegas yaitu di Sumatra tidak akan menjalankan politik yang
tersendiri atau berbeda dari politik pemerintah pusat di Jawa.
Untuk
mengatasi perpecahan di seluruh Indonesia antara pemuda dan pejabat serta untuk
memperkuat kedudukan pemerintahan, maka sosialis Sjahrir mengumumkan pada 23
November pembentukan “Komite Nasional Indonesia Daerah, atau KNI – daerah. KNI
– KNI ini sudah banyak berdiri di berbagai tempat berdasarkan keanggotaan
hokokai atau shu sangi kai, dan sekarang harus disusun kembali sebagai badan –
badan perwakilan yang mencerminkan imbangan keuangan yang baru dan mampu
bersama pejabat – pejabat menjalankan pemerintahan. KNI yang baru untuk daerah
Sumatra Timur telah dibentuk pada awal Desember dengan Laut Siregar sebagai
ketuanya. Komite – komite nasional lainnya juga dibentuk pada setiap kabupaten
dan kota penting lainnya selama bulan Januari. Proses penyaringan untuk KNI
kota Medan merupakan cara pemilihan yang teratur meskipun tidak secara
langsung. Sistem perwakilan yang disetujui antara Mr. Joesoef dan wakil dari
KNI Sumatra Timur ialah dalam bentuk pembagian 50 kursi yang kira – kira sama
diantara tiga blok. Blok peratama mewakili golongan – golongan revoluioner dan
marxis, termasuk tiga wakil masing – masing dari PKI, PNI dan Pesindo, blok
kedua golongan – golongan agama dan sosial termasuk tiga wakil MIT dan dua dari
Sabililah dan blok ketiga, wakil – wakil dari sektor – sektor kota dan golongan
minoritas non Indonesia. Waktu dua bulan yang diperlukan untuk melaksanakan
proses seleksi ini merupakan petunjuk bahwa cara – cara yang lebih kasar
mungkin telah dipergunakan di tempat – tempat lain.
Terbentuknya
KNI – KNI yang sudah diperbarui ini segera memberikan kekuatan dan pengakuan
baru kepada tokoh – tokoh politik yang lebih mapan dan moderat. Sebagai ketua
dari KNI Sumatra Timur terutama Laut Siregar sudah bulat sikapnya bahwa raja –
raja itu harus menerima semangat demokrasi yang dibawa perubahan zaman. Dia dan
Dr. Amir sudah begitu terkesan oleh kerja sama yang harmonis antara Republik
dan Kesultanan Jogja ketika mereka berkunjung ke Jawa. Segera setelah mereka
kembali dari Jawa pada 12 Januari, mereka membicarakan dengan bekas majikan Dr.
Amir, Sultan Langkat unntuk memprakarsai dan menjadi tuan rumah suatu
konferensi kerajaan yang akan membahas masalah ini di Tanjung Pura.
Kenyataan
adanya dua tokoh besar dunia kesusasteraan dari Sumatra Timur, Tengku Amir
Hamzah (Wakil Pemerintah NRI untuk Langkat) dan Dr. Amir yang bisa menjadi
jembataran antara Kesultanan Langkat dan Republik mungkin telah menjadi sebab
mengapa Langkat sepenuhnya bisa bekerja sama dalam usaha ini. Serdang, satu –
satunya kesultanan yang kesetiannya sejak semula telah diragukan oleh Belanda,
mengirim ke konferensi itu putra mahkotanya, Tenku Anwar, seorang administrator
pemerintahan yang cakap. Juga hadir dua datuk dari Deli, tetapi tidak
seorangpun utusan dari Kesultanan Asahan “berhalangan karena perhubungan”.
Dalam konferensi itu Dr. Amir menguraikan bagaimana raja – raja di Jawa telah
menjadi demokrasi dilaksanakan juga dengan selekas – lekasnya dalam kerajaan di
Sumatra Timur ini. Pertemuan itu menyetujui supaya dewan – dewan perwakilan
didirikan secepat mungkin pada setiap wilayah dan untuk sementara para sultan
dan pejabat – pejabatnya akan “memerintah dengan bekerja bersama dengan serapat
– rapatnya” dengan KNI – KNI setempat.
Baik
dalam jumlah wakil – wakil yang hadir maupun kadar putusan yang diambil,
konferensi ini adalah suatu langkah maju yang menyedihkan. Tidak ada usaha khusus
tetentu yang diumumkan maupun pembentukan suatu perangkat mekanisme untuk
melaksanakan “kerja sama” itu. Dimata para sultan itu hanya sedikit yang bisa
diberikan Republik kecuali hanya omongan dan mereka pun menyambutnya secara
setimpal. Perubahan suasana sebelum konferensi kedua, kurang dari sebulan
kemudiannya, menjadi bukti yang nyata dari radikalisasi revolusi.
Berlakunya
gencatan senjata pada akhir Desember telah menjadikan Medan secara nyata berada
di bawah kekuasaan Sekutu dan polisi Republik dan secara berangsur – angsur
pasukan – pasukan pemuda bersenjata memindahkan markas – markasnya ke luar
kota. Dengan tentara Jepang yang sekarang sudah dipusatkan pada beberapa kamp –
kamp penampungan besar, sudah tertutup kesempatan mendapatkan senjata – senjata
lagi. Maka timbullah suasana baru di kalangan pemuda bersenjata ini dengan
terbukanya kesempatan di perkebunan – perkebunan karet, kelapa sawit dan
tembakau di seluruh daerah Sumatra Timur. Orang Jepang menjadi pimpinan
perkebunan – perkebunan itu sudah berangkat menjelang Desember, dan menyerahkan
begitu saja pengurusannya kepada karyawan – karyawan Indonesia yang bertanggung
jawab kepada Dewab Perkebunan di Medan. Persedian besar karet, sisal dan kelapa
sawit yang sudah bertumpuk – tumpuk selama perang adalah harta kekayaan yang
tidak bisa dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengamanan dan segera jatuh ke
tangan kekuasaan pasukan demi pasukan pemuda bersenjata.
Kekuasaan
atas perkebunan, perdagangan dalam dan luar negeri, keamanan dan pertahanan
adalah hal – hal yang penting bagi TKR, Pesindo, BHL dan Sabililah untuk
dibiarkan begitu saja bagi pemerintah apalagi bagi kerajaan. Pengangkatan –
pengangkatan Republik yang semula, berdasarkan pertimbangan untuk menarik
simpati orang – orang kerajaan telah berangsur – angsur semakin tidak cocok
lagi dengan perkembangan situasi kekuatan yang sebenarnya. Hanya tokoh – tokoh
politik yang mempunyai pengaruh terhadap pemuda – pemuda pejuang dapat
mempertahankan suatu kadar pelaksanaan kekuasaan pemerintahan Republik.
Pada
tingkat karesidenan, Tengku Hafas sebenarnya sudah tidak aktif lagi sejak akhir
Januari. Pengumuman – pengumuman pemerintahan sudah ditandatangani atas namanya
oleh Joenoes Nasution, ketua PKI Sumatra Timur. Pangkat semula yang diberikan
kepadanya ialah “pegawai tinggi yang diperbantukan kepada residen dan kemudian
wakil residen. Di Langkat, Tengku Amir Hamzah selama bulan Februari secara diam
– diam mengundurkan diri dari kedudukan jabatan Republiknya karena tekanan –
tekanan berat dari Sultan Langkat dan Sekretaris Sulta yang pro-Belanda, Datuk
Djamil disatu pihak dan tekanan – tekanan para pemuda militan di lain pihak.
Tokoh politik penting dari PNI dan bekas Gerindo, Adnan Nur Lubis, mengambil
alih tugas – tugas pemerintahannya atas persetujuan KNI langkat. KNI sedang
mengangkat Tengku Nizam sebagai pejabat Republik, sedangkan untuk Tebing Tinggi
dikabarkan telah ditunjuk Moenar S. Hamidjojo pada akhir Januari “selaku wakil
pemerintah NRI”. Tengju Musa di Asahan tetap terus tidak mau tunduk pada
tekanan – tekanan pemuda, sehingga ketua KNI-nya, Abdullah Eteng bertindak
menjadi saingannya dan langsung menjalankan banyak fungsi pemerintahan.
Dalam
keadaan kekuasaan kerajaan – kerajaan yang semakin tersisih itu, Sultan Siak
datang di Medan pada 25 Januari. Salah seorang dari raja – raja yang banyak
bikin pusing kepala Belanda selama pemerintahan kolonialnya adalah Sultan
Sjarif Kasim, yang juga menjadi tokoh sangat giat sebagai ketua semacam hokokai
di Riau di zaman Jepang. Rekan – rekan sultan yang lain sejak semula sudah
berharap akan bantuan Belanda yang akan kembali, dia berada jauh terpencil di
Karesidenan Riau untuk bisa melihat buktinya. Dibawah tekanan – tekanan keras
pemuda, dia menjalankan peranan model seorang “Sultan Republik”. Pada 1 November
di depan umum dia mengucapkan pernyataan kesetiakawananya dengan rakyat dalam
membela Republik, kemudian menyumbang RP. 20.000 untuk perjuangan, bahkan jika
diperlukan sedia menjual semua harta kekayaannya untuk kepentingan cita – cita
republik. Rupanya sikap yang begitu dramatis ini tidak sedikitpun memperkuat
kedudukannya yang lemah di Siak, sebab dia tidak kembali lagi ke Riau sesudah
meninggalkan keresidenan itu pada bulan Januari.
Meskipun
sebagai seorang tokoh yang menyedihkan dimata rekan – rekan sultannya yang
lain, Sultan Sjarif Kasim menyediakan suatu kesempatan yang amat berharga bagi
Gubernur Hasan untuk membuktikan kebijaksanaan politiknya dalam “membantu
kerajaan mengadakan perubahan dalam pemerintahan mereka yang sesuai dengan
tuntutan zaman”. Gubernur Republik ini khusus mengadakan suatu resepsi untuk
menghormati Sultan Sjarif Kasim di Medan. Dalam minggu berikutnya, wartawan –
wartawan Soeloeh Merdeka terus
mengikuti Sultan ini untuk menyiarkan pernyataan – pernyataan pro Republiknya
yang disampaikan pada pertemuan – pertemuan sederhana dengan pemimpin –
pemimpin moderat. Ternyata di Tanjung Pura, dia tidak diterima di Istana Sultan
Langkat, dengan siapa dia tidak berhubungan baik sejak tahun 1930, tetapi pada
pertemuan dengan anggota – anggota KNI setempat dia mengatakan dasar Kedaulatan
Rakyat sebenarnya adalah turut menambah kebesaran daerah – daerah kesultanan
dan bukan memperkecil sebagai dugaan beberapa golongan. Dalam zaman penjajahan
Belanda dan pembelenggungan Jepang, kedudukan sultan – sultan dan raja – raja
tidak lebih dari seorang ‘nyai’ di dalam suatu rumah tangga, bukan sebagai
“nyonya rumah”. Rasa jijik yang diperlihatkan organisasi – organisasi yang
lebih revolusioner terhadap politik merayu – rayu dari pihak Republik untuk
menarik baginda – baginda ini, tentu lebih keras pengaruhnya kepada raja – raja
itu daripada kata – kata Sultan Sjarif Hasan. Harian Berdjoeng memberitakan, komentarnya tentang
kunjungan itu adalah “kita tidak mau kembali ke zaman feodal. Kita tidak mau
tahu tentang pemerintahan seri baginda itu. Yang kita mau ialah kedaulatan
rakyat hanya berada ditangan rakyat.
Sementara
itu, nasib para uleebalang di Pidie
tentu sudah cukup diketahui di Sumatra Timur. Raja – raja sudah tidak bisa
lebih lama seenaknya mengabaikan ancaman terhadap keselamatan dirinya sendiri
atau dengan angkuh menolak perlindungan apapun yang bisa diberikan para
pemimpin moderat dari Republik yang “resmi”. Oleh sebab itu, mereka mengadakan
suatu pertemuan kedua yang sangat serius dengan pemimpin – pemimpin Republik
pada 3 Februari. Kelima Sultan di Sumatra Timur semua hadir, kecuali Sultang
Serdang dikarenakan sakit – sakitan. Sultan Siak sangat menonjol dalam
pertemuan itu, meskipun kerajaannya sudah tidak lagi menjadi bagian dari Karesidenan
Sumatra Timur. Pertama – tama raja – raja ini mengadakan pertemuan tertutup
sesama mereka dan menunjuk Sultan Langkat sebagai juru bicara dalam sidang
pertama yang terbuka bagi wartawan. Dalam menyambut pidato gubernur, dengan
cara yang amat sopan, untuk pertama kalinya tanpa ragu – ragu dia menyatakan
dukungan raja – raja itu kepada Republik.
Pertemuan
itu memberi kesempatan pertama kepada Mr. Hasan membujuk raja – raja itu untuk
menerima peranannya yang baru dalam Demokrasi. Dia menegaskan, bahwa Republik
sepenuhnya mengakui semua kerajaan yang ada dan “belum ada niatnya hendak
menyingkirkan atau menghilangkan kerajaan – kerajaan”. Penjajahan Belanda
sesungguhnya pada kenyataannya tidak pernah memberikan kebebasan kepada raja –
raja ini dan mereka telah menghancurkan semangat demokrasi dari lembaga –
lembaga yang asli di Sumatra untuk mereka tukar dengan bentuk otokrasi yang khusus sengaja
diciptakan bagi Sumatra Timur.
Selanjutnya
Mr. Hasan mengatakan bahwa raja – raja masih ragu dan sangat khawatir akan
hubungan perjanjiannya dengan Belanda, karena mereka tidak menyadari akan
kekuatan yang ampuh dari posisi Republik. Jika raja – raja yang berkumpul itu
tidak dapat merasakan tangan besi yang tersimpul dalam kata – kata yang lunak
ini, maka masih ada Laut Siregar untuk mengingatkan, bahwa mereka akan
berhadapan dengan perhitungan massa.
Peranan
yang direncanakan pemimpin – pemimpin Republik itu bagi raja – raja ialah
sebagai pemimpin eksekutif masing – masing daerahnya yang tunduk pada satu
pihak kepada kekuasaan yang lebih atas yaitu residen dan gubernur dan pada
pihak lain tunduk kepada kekuasaan legislatif dewan – dewan perwakilan di
daerahnya masing – masing. Khusus Mr. Luat Siregar mendesakkan supaya kekuasaan
dibagi dalam legislatif, yudikatif dan eksekutif dan hanya kekuasaan yang
terakhir ini berada ditangan raja – raja. Ini jauh berbeda dari sikap pendirian
raja – raja itu yang menginginkan suatu kedudukan yang disamakan dengan raja –
raja di Jawa tanpa berada dibawah hirarki pemerintahan gubernur dan residen,
tetapi hanya terikat pada Republik lewat seorang komisaris tinggi yang diangkat
presiden, khusus untuk kerajaan – kerajaan di Sumatra Timur. Ini akan
memungkinkan mereka mempunyai ruang gerak yang bebas untuk menyusun bentuk
demokrasi menurut gayanya sendiri ke dalam. Gubernur Hasan menolak persamaan
dengan raja – raja di Jawa ini dengan mengatakan “Di Jawa diadakan Pesuruh Jaya
Tinggi untuk daerah istimewa sebagai penghargaan atas jasa – jasa
Zelfbestuurder disana. Di Sumatra ini, soal pesuruh Jaya Tinggi nanti akan
dipertimbangkan juga apabila telah terbukti kerja sama antara Negara Republik
Indonesia dengan Zelfbestuurder. Meskipun ada perbedaan jauh dalam posisi
masing – masing, tetapi kedua pihak rupanya menganggap pertemuan ini suatu
keberhasilan. Mr. Hasan dan Dr. Amir meninggalkan pertemuan itu setelah minum –
minum sebentar, untuk mengadakan pertemuan dengan panglima Inggris Jenderal
Chambers. Sebelum berangkat Mr. Hasan memberi kuasa kepada Tengku Hafas untuk
menyelesaikan detil – detil usul – usul perubahan dengan raja – raja itu. Suatu
komisi Kerajaan telah didirikan untuk melaksanakan pembentukan dewan – dewan
perwakilan dan mengkoordinasi pembicaraan – pembicaraan antara raja dan KNI
pada setiap wilayah. Tetapi, bagaimanapun sifat eksekutif komposisi komisi
kerajaan itu memberi kesan bahwa raja – raja itu masih gagal untuk menyadari
sedalam – dalamnya ancaman untuk posisi mereka. Kekhawaitran sebagian mereka
untuk tidak merusak dasar perjanjian mendapatkan hak perlindungan dari Belanda,
telah menjerumuskan mereka kepada sikap pendekatan legalisme yang hati – hati
yang pasti tidak akan memuaskan pemuda. Jika pun komisi mencapai hasil – hasil
yang konkret selama sisa bulan itu, hasil – hasil ini tidak pernah diumumkan.
Konferensi
tanggal 3 Februari menempatkan masalah pendemokrasian kerajaan pada pusat
perhatian dan kesadaran pemuda. Hampir setiap pembicara membahas masalah ini
pada setiap rapat umum peringatan setengah tahun berdirinya Republik Indonesia
pada 17 Februari. Teoritikus Pesindo yang bernama Joesoef Abdullah Puar,
bertanya – tanya apa yang akan terjadi dengan “tekanan kita untuk
mendemokrasikan raja – raja itu, ialah mempertukarkan daulat rakyat dengan
daulat tuanku yang kolot itu, dibawah rencana Belanda untuk tetap memegang berbagai
macam kekuasaan bersama dengan seorang gubernur jenderal, mungkin sekali termasuk
hubungan dalam suatu perjanjian. Tetapi dalam prakteknya raja – raja itu sudah
lebih dulu kehilangan semua kekuasaan pemerintahannya. “Tidak saja rakyat tidak
mau lagi datang ke kantor raja – raja itu disebabkan perubahan suasana secara
drastis, tetapi juga sering terjadi pejabat raja – raja itu sendiri tidak lagi
nampak batang hidungnya”. Praktek kekuasaan sudah dicaplok pasukan – pasukan
pemuda yang menganggap setiap kompromi Republik dengan kerajaan hanya berarti
memberi kesempatan hidup lebih lama kepada yang terakhir ini. Akibat nyata dari
konferensi 3 Februari itu adalah meningkatnya rasa kebutuhan revolusioner yang
mendesak untuk menyapu bersih anarki kekuasaan kerajaan itu sebelum terlamabat.
Sudah merasa semakin memuncaknya tekanan –
tekanan yang menjerumus pada suatu kudeta terhadap raja – raja. Gubernur Hasan berangkat
mengadakan kunjungan muhibah ke seluruh Sumatra untuk satu bulan lamanya. Dalam
rombongan juga hadir tokoh sebagai penegah antara pimpinan Republik dan pemuda
yaitu Xarim M.S. Pejabat Gubernur Sumatra yaitu Dr. Amir, bukanlah tokoh yang
dapat menandingi kewibawaan kedua tokoh ini. Seorang tokoh ahli penyakiit jiwa
yang cemerlang dengan gaya hidup yang sepenuhnya Eropa, sebenarnya Amir berada
diluar arus pokok kehidupan manusia. Sementara Hasan mempunyai kadar
perlindungan dari pengawal – pengawal Acehnya terhadap tuntutan – tuntutan para
pemuda dan bisa jadi seluruh Aceh akan maju membelanya dalam suatu krisis, Amir
sama sekali tidak mempunyai pengikut. Meskipun bukan untuk memainkan pemimpin –
pemimpin pemuda dengan penampilan diri yang sesuai dengan aspirasi – aspirasi
mereka. Sudah sejak zaman penjajahan Jepang yang penuh dengan guncangan –
guncangan jiwa, ternyata Amir mencoba menutupi tekanan – tekanan batin ini
dengan melakukan secara sadar serangkaian tingkah dalam gaya yang ingin berbuat
lucu. Dia senang menyebut gubernur dengan “Mangkubumi” atau “Yang Mulia”.
Karena peran apapun yang dilakukannya sudah bukan dirinya lagi, Amir bisa
berbuat berlebih – lebihan dan mencampuradukkan khayalan dengan kenyataan yang
membahayakan dirinya sendiri. Pada setiap pukulan ayunan bendulan politik dia
semakin kehilangan keseimbangan diri, sampai akhirnya bendulan itu
melemparkannya sama sekali keluar.
Selama
masa Pejabat Gubernur itu rupanya Amir sangat sulit menghadapi Joenes Nasution yang
sementara itu menjabat sebagai residen di Sumatra Timur. Dia terlampau berlebih
– lebihan menilai pengaruh dan kekuatan Joenes Naution sebagai “:Bapak kaum
ekstremis” dan yakin akan pentingnya tetap mempertahankan dukungannya. Meskipun
Amir pada hari – hari berikutnya menyatakan Joenes sebagai musuh utamanya dan
biang keladi dari kehancurannya, tetapi kekuasaan Joenes yang singkat itu
sebenarnya adalah ciptaan Amir sendiri.
B.
Persatuan
Perjuangan dan Polarisasi
Gagasan “Persatuan
Perjuangan” yang dilancarkan Tan Malaka mempunyai pengaruh yang sama di Sumatra
seperti di Jawa dalam memberikan dasar kepada persatuan dan pengukuhan kepada
tuntutan pemuda yeng meluas akan adanya perubahan yang lebih revolusioner.
Karangan-karangan Muhammad Yamin pada bulan Desember yang menampilkan Tan
Malaka sebagai “Bapak Republik Indonesia” telah dimuat kembali dalam harian Soeloeh Merdeka pada pertengahan
Januari, hamper bersamaan dengan waktu ramainya pembicaraan mengenai
pikiran-pikiran dan slogan persatuan perjuangan di Sumatra Timur. Ide Tan
Malaka segera mendapatkan sambutan hangat. Dalam satu hal, nama Tan Malaka
lebih terkenal daripada sebagian besar pemimpin pemerintahan. Hal ini karena
Tan Malaka pernah berada di Sumatra Timur selama dua tahun. Tokoh-tokoh PKI
seperti Xarim M.S, Nathar Zainuddin dan Joenoes Nasution mempunyai hubungan
erat dengan Tan Malaka baik secara pribadi maupun ideologi, dan setuju dengan
pendapatnya bahwa cita-cita komunisme tidak boleh menjadi penghalang bagi
terbentuknya suatu front revolusioner yang seluas mungkin. Sudah tentu, inilah
yang menjadi sebab mengapa mereka tegas melarang pemakaian lambang palu-arit
daripada “Marah Putih”. Ketika Xarim mendengar tentang penangkapan Tan Malaka
oleh Republik pada bulan Maret, dikabarkan tokoh ini telah memberi komentar,
bahwa dia seharusnya juga membalas tindakan itu dengan menangkapi
pembesar-pembesar Republik di Sumatra. Penangkapan Tan Malaka ini semula tidak
dipercaya di Medan, dan Dr. Amir secara khusus mengeluarkan suatu pengumuman
bahwa berita itu “mungkin provolasi musuh untuk mengacau rakyat. Pemerintah NRI
tidak melarang adanya partai komunis, dan tetap menghormati usaha-usaha dan
jasa Tan Malaka.”
Selain itu, program
minimum Persatuan Perjuangan cukup menarik dan cocok dengan semangat para
pemuda. Slogannya yang ringkas mantap hanya berunding di atas dasar “100%
Merdeka” telah bergema dan disambut pada setiap rapat umum
organisasi-organisasi selama bulan Februari. Tuntutan akan adanya tentara
rakyat dan pemerintahan rakyat, penyitaan atas perkebunan dari milik Belanda,
telah memberikan arah yang terang dan pengesahan kepada revolusi yang sudah
bergolak di Sumatra Timur ini. Tambah lagi, terasa adanya kebutuhan di daerah
ini akan adanya badan-badan organisasi untuk mengisi kekosongan yang
diakibatkan runtuhnya pemerintahan tradisional raja-raja. Markas Agung telah
mengisi peranan ini sebagian dan bersifat sementara pada akhir 1945, atau
paling sedikit dalam mengkoordinasi pertempuran-pertempuran di jalan-jalan kota
Medan. KNI-KNI telah memberi kesemptan kepada unsur-unsur moderat untuk
menciptakan persatuan terpadu pada awal 1946. Persatuan Perjuangan bersifat
kira-kira di antara keduanya. Sementara federasi organisasi-organisasi
perjuangan di atas landasan yang lebih luas dari Markas Agoeng menampilkan
suatu wadah yang lebih radikal dan kuat daripada KNI.
Tidaklah mengherankan
jika PKI dan Pesindo, yang di Jawa menyokong Kabinet Sjahrir dan dengan
sendirinya menjadi lawan Persatuan Perjuangan, justru di Sumatra menjadi
penggerak utama gerakan baru ini. Hal ini sama dengan bentuk front yang selama
ini terus coba diciptakan oleh Xarim, Nathar dan Luat Siregar. Lagi pula,
Persatuan Perjuangan di Sumatra tidak pernah menjadikan gerakannya suatu
kekuatan yang anti pemerintah, kecuali hanya terhadap kerajaan, karena
pemerintahan Republik di Sumatra tidak mempunyai kemampuan untuk melawannya
seperti yang terjadi di Jawa.
Perundingan-perundingan
untuk mendirikan Persatuan Perjuangan di Sumatra dimulai oleh Xarim dan Luat
pada akhir Januari, dan baru berhasil pada 11 Februari sesudah rombongan
Gubernur Hasan berangkat mengadakan perjalanan kelilingnya di seluruh Sumatra.
Sekitar dua puluh organisasi dikabarkan hadir pada rapat pembentukannya yang
diketuai Mr. Luat, menghasilkan terbentuknya pimpinan pengurus untuk seluruh
Sumatra yang diketuai oleh Sarwono S. Soetardjo dan pengurus untuk daerah
Sumatra Timur yang kurang penting, dipimpin Riphat Senikentara. Persatuan Perjuangan ini menjadi revolusioner yang berdaya guna
karena menyisihkan pejabat-pejabat pemerintaha yang konservatif dan kaum
cendekiawan moderat. Pimpinan pusatnya, maupun cabang-cabang yang cepat
didirikan pada setiap kabupaten dan dikuasai Pesindo, PKI, dan PNI, sedangkan
TKR dan MIT (Majelis Islam Tinggi) umumnya mengambil bagian yang tidak begitu
penting. Usman Parinduri (PKI dan bekas Kenkokutai)
menjadi pemimpin di Langkat. Tama Ginting (PNI) di Tanah Karo, Haris Fadillah
(Pesindo dan bekas Kenkokutai) di
Asahan.
Oleh karena pimpinan
Sumatra dari Persatuan Perjuangan yang mengkoordinasi gerakan terhadap
raja-raja di Sumatra Timur nantinya, perlulah diketahui susunan pengurusnya,
yang ternyata sebelumnya tidak pernah disiarkan. Secara teori pengendalian berada
pada suatu pucuk pimpinan yang terdiri dari wakil-wakil semua golongan
bersenjata yang penting-penting. Ternyata mereka ini hanya satu kali mengadakan
rapatnya pada bulan Februari, dan dalam praktiknya hanya sekelompok kecil tokoh
pimpinannya yang mengambil keputusan-keputusan yang menentukan. Hal ini mungkin
disebabkan karena kelompok ini sangat mirip dengan kelompok radikal Markas
Agungnya Nathar Zainuddin, sehingga banyak sumber memuji keputusan Maret untuk
bertindak terhadap Markas Agung ini. Tokoh-tokoh sentralnya sudah tentu Sarwono
S. Soetardjo (Pesindo) sebagai ketua, Saleh Oemar (PNI) dan seorang wakil dari
PKI. Wakil TKR, Ahmad Tahir, sangat kurang dikonsultasi, sdangkan Bachtiar
Joenoes dari MIT/Sabilillah kebetuan sedang mengikuti rombongan gubernur.
Gerak maju dari
kekuatan-kekuatan radikal ini juga jelas kelihatan di bidang ekonomi, di mana
rencana-rencana ekonomi lawan saing bersaing untuk menciptakan suatu kadar
penertiban dan pengawsan pemerintah. Sementara itu sebuah kelompok komunis yang
diilhamo Joenoes Nasution telah membentuk Bapper (Badan Pusat Perekonomian
Rakyat) Sumatra pada 11 Desember. Bersama dengan perhimpunan ekonomi serupa
lainnya mereka bertujuan mengerahkan aktivitas ekonominya untuk tujuan
perjuangan anti-Belanda, meskipun rencana-rencananya terlampau muluk dihiasi
retorika marxis yang samar-samar. Tidak banyak terdengar lagi tentang Bapper
ini sampai tanggal 5 Februari, ketika namanya ditukar dengan ERRI (Ekonomi
Rakyat Republik Indonesia). Badan kerjanya, Amir Joesoef dan Boestami, menemui
Gubernur Hasan menjelang keberangkatannya keliling Sumatra untuk meminta supaya
ERRI diberi kuasa untuk bertindak sebagai tangan pemerintah di bidang ekonomi,
bertanggung jawab atas semua perkebunan dan perusahaan di Sumatra. Merasa kekuasaan
apapun yang dipunyai organisasi ini tak mungkin akan dapat melayani kepentingan
pemerintah, gubernur menolak permintaan itu. Meskipun begitu, ERRI terus giat
bekerja, mengorganisasi pedagang-pedagang kecil, pedagang tekstil, penjual obat
dan sebagainya, dihimpun dalam serangkaian organisasi usaha sejenisnya atas
dasar koperasi. Pengumuman Luat Siregar pada 12 Februari bahwa KNI tidak lagi
mempunyai seksi ekonominya tentulah ada hubungannya dengan sokongan sayap kiri
kepada ERRI.
Meskipun
bentrokan-bentrokan bersenjata dengan tentara Inggris, Belanda ataupun Jepang
sangat kurang dalam bulan Februari itu, tetapi situasi revolusioner cepat
berkembang semakin panas. Pada peringatan enam bulan pada 17 Februari para juru
bicara pemuda berpidato dalam semangat baru yang tinggi. Mereka bukan saja
berjuang untuk 100% merdeka, tetapi juga terlibat dalam kewajaran tuntutan
revolusi yang mendesak. “Sejarah tidak pernah mengenal suatu revolusi yang
begitu menegangkan panasnya seperti revolusi Indonesia.” Luat Siregar mengutip
kata-kata Soekarno, bahwa keduanya, revolusi nasional dan revolusi sosial
sedang berjalan. “Yang terutama sekali sekarang, terutama untuk
pemimpin-pemimpin pemerintahan, agar mereka menyesuaikan pendirian dan jiwanya
dengan revolusi sosial ini. Sebab di kalangan pemerintahan kadang-kadang ada
kelihatan bahwa hanya ‘bersifat pertukaran saja’, artinya pembesar-pembesar
Belanda ditukar dengan Jepang dan pembesar-pembesar Jepang ditukar dengan
bangsa Indonesia.” Kritik yang lebih khusus segera muncul dalam harian Berjoeang yang mengecam, bahwa walikota
Medan, Mr. Joesoef sudah terlampau jauh bekerja sama dengan Inggris. Apabila
kampanye dalam rapat-rapat umum yang diadakan Persatuan Perjuangan semakin luas
dan gencar membangkitkan semangat, maka pembesar dan pejabat Republik mulai
dirasakan sebagai batu-batu penghalang dari revolusi yang sedang berjalan.
Ketiadaan suatu partai
yang tegas sejalan bersama pemerintah dalam menciptakan stabilitas sudah
diuraikan sebelumnya. Pemerintahan Sjahrir bersungguh-sungguh ingin membuktikan
kepada Sekutu bahwa dia memimpin suatu pemerintahan yang tertib teratur dan
perintah-perintahnya ditaati. Posisinya yang lemah di Sumatra ini telah
dipergunakan Belanda sebagai alas an untuk menolak pemerintahan de facto Republik atas pulau itu.
Tetapi, partai-partai marxis yang di Jawa
menjadi pendukung utama pemerintah ternyata di Sumatra tidak terwakili
atau bersikap lebih menerima garis radikal Tan Malaka daripada garis politik
moderat yang ditempuh Sjahrir.
Baru pada awal Februari
partai penting di Jawa yang mendukung pemerintah, partai Sosialis, mengirim
seorang tokoh propagandis ke utara Sumatra. Tokoh ini ialah saudara tua
Sjahrir, Noer Alamsjah, pemimpin Parindra di Sumatra Utara sebelum perang, dan sekarang
mewakili sayap yang paling moderat partai itu. Dia tidak berusaha melakukan
seperti yang mungkin diusahakan seorang teman separtainya yang menjalankan
garis pro-Moskow dari Amir Sjarifuddin untuk meyakinkan PKI di Sumatra bahwa
kondisi-kondisi Internasional mengharuskan adanya sokongan yang tegas bagi
pemerintahan Sjahrir atau Amir Sjarifuddin. Justru sebaliknya, ternyata Noer
Alamsjah memusatkan perhatiannya kepada kaum intelektual yang nasionalis
moderat, yang sudah khawatir dan gelisah terhadap gerakan massa yang sudah
tidak terkontrol itu dan berusaha untuk kembali kepada kepemimpinan elite
politik.
Menjelang pertengahan
Februari kegiatannya telah menghasilkan dua panitia yang saling bersaing dalam
apa yang masih dinamakan Parsi (Partai Sosialis Indonesia, nama partai Amir
Sjahrifuddin sebelum berfusi dengan partainya Sjahrir). Yang satu terdiri dari
seluruhnya dari kaum cendekiawan moderat dan lainnya berlandaskan unsur-unsur
PNI-baru Sjahrir sebelum perang yang tidak puas terhadap PNI. Meskipun pemimpin
Parsi tetap berada dalam kebingungan selam bulan-bulan berikutnya, tetapi
segera semakin jelas partai ini mendapatkan kekuatannya dari dua sumber yang
nyata. Yang pertama ialah rapatnya hubungan mereka dengan pejabat-pejabat
Republik dan Pemerintahan Pusat; dan lainnya ialah kekuatan pasukan ke-V dari
Dr. Nainggolan yang merupakan salah satu dari yang pertama menyatakan mendukung
kaum Sosialis itu.
Meskipun tidak banyak
yang bisa diketahui dari pers Republik tentang Pasukan ke-V, tetapi badan perjuangan
ini mengambil sikap terhadap radikalisasi pasukan-pasukan lainnya dengan
memperkuat persekutuannya dengan kelompok-kelompok pemuda Melayu yang bertekad
mempertahankan Kerajaan. Di samping kekuatannya yang dikatakan berjumlah 50.000
(di Sumatra Timur 10.000 orang) yang sebagian besar terdiri dari suku Batak
Toba, sekarang Pasukan ke-V sudah mempunyai sayap kekuatan bersenjata Melayu di
Sunggal dan beberapa pendukung di Tanah Karo yang kedua-duanya membela
kekuasaan raja-raja yang dulunya dilawan oleh gerakan aron dan penerusnya Kenkokutai.
Pasukan ke-V kembali bentrokan dengan Pesindo dalam bulan Februari,
pemimpin-pemimpinnya ditahan untuk kemudian dihadapkan pada suatu rapat dengan
tuduhan membantu NICA dan polisi Republik. Pada 23 Februari Pasukan ke-V
mengadakan konferensi di Kisaran untuk mengesahkan perpecahannya dengan Pesindo
dan penggabungan mereka dengan kaum Sosialis. Partai sosialis yang baru itu
tentulah telah ikut memberi kesan kepada kaum revolusioner, bahwa
pejabat-pejabat Republik, Kerajaan, dan bisa jadi juga Belanda sedang mencoba
sebentuk reaksi yang bersifat konservatisme.
Begitu juga di
daerah-daerah lain, garis permusuhan sudah semakin jelas ditarik. Pejabat
Republik di Tanah Karo, Ngeradjai Meliala, telah memakai sepasukan TKR yang
setia kepadanya untuk menangkap Pajung Bangun dan pemimpin-pemimpin Harimau
Liar lainnya berdasarkan tuduhan bertanggung jawab terhadap sejumlah
pembunuhan. Barisan Harimau Liar dan lain-lain pasukan PNI bersiap-siap untuk
mengambil tindakan balasan terhadap diri Ngeradjai Meliala. Sementara itu,
hubungan di Asahan antara Wakil Pemerintah Republik yang resmi, Tengku Musa dan
pasukan-pasukan pemuda yang umumnya dipimpin bekas anggota-anggota yang dilatih
Talapeta berkembang semakin gawat. Polisi dan sepasukan kecil TKR di bawah
pimpinan seorang Melayu setempat, Letnan Karim Saleh, mencoba mempertahankan
wewenang kekuasaan Tengku Musa, mengakibatkan mereka akhirnya tersisih sama
sekali dari gerakan pemuda selebihnya. Dengan memuncaknya tekanan untuk bertindak
terhadap raja-raja, Dr. Amir telah bisa diyakinkan untuk berangkat dengan
kereta api istimewa pada 27 Februari untuk meninjau tempat-tempat yang paling
genting, yaitu Pematang Siantar yang menjdi Markas Pusat persatuan perjuangan
dan Asahan. Bagi wakil-wakil PKI dan Pesindo kiranya ini merupakan kesempatan
untuk membuktikan kekuatan keinginan rakyat dalam menyambut pidato Dr. Amir dan
Joenoes Nasution pada setiap pemberhentian kereta api. Kereta api mereka telah
dicegat di Tebing tinggi dan Kisaran oleh ribuan orang menyampaikan tuntutan
supaya “musuh-musuh dan penghalang kemerdekaan” ditumpas. Di Tanjung Balai
rombongan dijamu dengan ramah oleh Sultan Asahan. Pada rapat umum besok harinya
Sultan ini menganjurkan penggalangan kerja sama untuk memperjuangkan cita-cita
Republik, tetapi 20.000 pengunjungnya menuntut segera adanya tindakan nyata.
Dalam suatu pertemuan tersendiri antara pemimpin-pemimpin Persatuan Perjuangan
telah ditunjukkan bukti adanya hubungan Kerajaan Asahan dengan Belanda. Di
Siantar rombongandihadapkan dengan slogan-slogan yang dicoretkan pada
tembok-tembok rumah seperti “raja-raja menghisap darah rakyat” dan “rakyat
menjadi hakim”. Pekik “merdeka” dengan kepalan tangan diacungkan ke atas
berbaur dengan pekik “darah” yang menuntut pembalasan terhadap raja-raja.
Rombongan resmi ini
kembali di Medan 2 Maret. Dr. Amir rupanya yakin dia telah berhasil membujuk
pemimpin-pemimpin partai itu untuk menunda gerakan tindakannya, paling sedikit
sampai pulangnya rombongan Gubernur Hasan ke Medan. Tetapi besoknya, “revolusi
sosial” mulai bergolak di Sumatra Timur.
C.
Malam
Berdarah
Perencanaan
kudeta adalah pekerjaan suatu kelompok radikal di dalam tubuh persatuan
perjuangan yang mencakup pimpinn Pesindo, PNI dan PKI. Alasan dilakukana
tidakan ini ialah simpati raja-raja terhadap Belanda dan ancaman yang
ditampilkannya terhadap kemerdekaan. Hakikat tindakan yang dilancarkan pada 3
maret ialah menangkapi raja dan pendukung-pendukung utamanya dan menggedor
istana-istana untuk mencari harta kekayaan mereka dan bahan propaganda
pro-Belanda yang diperkirakan akan bisa diketemukan. Revolusi sudah banyak
memberi contoh-contoh untuk menegakkan kedaulatan rakyat dengan cara ini. Inti
radikal dari persatuan perjuangan diperkirakan tidak akan menghadapi perlawanan
yang serius karena tindakan telah dijalankan pada 3 Maret malam. Tanah karo
menjadi salah satu contoh dari cara operasinya. Sarwono menyampaikan
instruksi-instruksinya lewat telepon kepada pemimpin persatuan perjuangan
disana, Tama Ginting, yang segera mendapat dukungan dari pemimpin yang
mempunyai pasukan bersejata terkuat di daerah itu, Selamat Ginting. Segera
secara terburu-buru mereka mengadakan rapat persatuan perjuangan pada 3 Maret
di Brastagi dan memastikan hadirnya para Raja Urung dan Sibayak. Sebagian dari
mereka, tujuh belas orang semuanya, kemudian ditangkap dan diasingkan di Aceh
Tengah. Diantara yang ditangkap termasuk wakil pemerintah NRI dan kedua
bersaudara Nerus dan Nolong Ginting Suka yang merupakan orang-orang kuat dalam
politik. Kaum Aristokrasi Tanah Karo ini banyak kehilangan tanah-tanahnya yang
sudah teririgasi yang sejak tahun 1930 sudah menjadi sumber sengketa. Tetapi
rumah-rumah dan kaum keluarga mereka tidak diganggu. Tidak ada pertumpahan
darah.
Faktor-faktor
yang memungkinkan operasi ini berjalan tertib di Tanah Karo tidak terjadi di
lain-lain tempat. Aristokrasi Karo lebih
berbetuk suatu birokrasi ciptaan Belanda yang secara sosial dan ekonomi tidak
begitu berada dengan orang lain sesukunya. Pemimpin-pemimpin pemudanya semua
dari suku Karo yang mempunyai pertautan keluarga dengan Sibayak dan Raja Urung.
Lagi pula, unsur yang paling keras melawan, anak-anak didik Inoue dalam BHL
telah ditangakap oleh Ngeradjai Meliala. Tanah Karo mengalami pertumpahan
darahnya hanya pada tahun 1947, setelah Pajung Bangun dan kawan-kawannya
dibebaskan.
Sebagian
besar pasukan bersenjata yang penting di Simalungun terdiri dari pemuda-pemuda
Batak Toba yang mendirikan markasnya di Pematang Siantar atau di
perkebunan-perkebunan. TKR, yang sejak januari telah ditukar namanya menjadi
tentara Republik Indonesia (TRI) dan berkekuatan lumayan itu telah memindahkan
markas besarnya ke Pematang Siantar belum lama berselang. Lewat telepon,
Kolonel Tahir telah menyatakan persetujuannya atas penangkapan-penangkapan yang
dilakukan persatuan perjuangan terhadap raja-raja itu. satu-satunya kekuatan
radikal yang terdiri sebagian besar dari orang-orang Simalungun adalah Barisan
Harimau Liar di bawah pimpinan Saragih Ras yang mewarsis kekuatan Kenkokutai di
pedesaan. Ketika Saleh Oemar mengeluarkan instruksinya kepada pemimpin-pemimpin
Pesindo, Napindo (BHL) dan PKI di Pematang Siantar untuk meangkapi raja-raja di
Simalungun, telah disetujui bahwa peranan utamanya akan dilakukan oleh BHL
untuk mencegah terjadinya tuduh-menuduh yang bersifat kesukuan, terutama di
daerah tradisional pedalaman Simalungun. Paradoksnya, justru ini membawa lebih
celaka bagi raja-raja itu. di pedalaman Simalungun tidak terdapat adanya
oposisi terpadu terhadap pemerintahan raja-raja dan BHL yang bertindak di
daerah-daerah ini dipimpin oleh beberapa tokoh yang mempunyai dendam pribadi
dan dibantu sedikit pengikut-pengikutnya yang tidak terpelajar.
Raja
dari Pane, terhadap siapa Saragih Ras mempunyai sakit hati, ditangkap BHL pada
3 Maret malam beserta seluruh keluarganya dan harta bendanya berikut pakaian
telah dirampas. Raja ini dan beberapa pengikutnya dibawa ke suatu tempat
pertahanan BHL di mana diadakan upacara pesta dan kemudian semuanya dibunuh.
Besuk harinya Barisan Harimau Liar mengejar dan menangkap raja dari daerah
tetangganya, Raya, dibawa ke jembatan besar untuk dibunuh. Rumahnya
diobrak-abrik, emas dan barang-barang berharganya juga dirampok. Raja ketiga di
hulu Simalungun, Raja Purba, beruntung telah diselamatkan dengan kekerasan dari
tangan BHL oleh sepasukan TRI. Yang keempat, Raja Silimakuta kebetulan berada
di Siantar ketika rumahnya disergap dan kemudian dibakar. Bersama dengan
raja-raja Simalungun lainnya, kedua raja ini akhirnya mendapatkan pengamanan
tahanan TRI di Pematang Siantar, sedangkan banyak kaum keluarganya tidak di“aman”kan dengan cara begini.
Kekerasan
yang dimuali 3 Maret itu paling parah berlaku di kabupaten asahan, di selatan
karesidenan. Di sini tidak terdapat adanya suatu kekuatan moderat antara pemuda
bersenjata dan segolongan pejabat pendukung kerajaan yang keras kepala yang
dipimpin Teuku Musa, yang tetap masih mewakili republik “resmi”. Satu-satnya
kekuatan TKR/TRI di seluruh kabupaten ini hanyalah sepasukan kecil di Tanjung
Balai yang condong menyokong Kerajaan. Para pemimpin kelompok-keompok
bersenjata pemuda — Pesindo, Napindo dan Sabilillah — semuanya adalah
orang-orang politik yang belum berpengalaman dan mendapat latihan pokoknya dari
Talapeta yang didirikan Inoue. Sedangkan, Abdullah Eteng, pemimpin Kenkokutai
Asahan dan kemudian KNI, berada dalam tahanan rumah oleh pemuda selama
“revolusi sosial” itu.
Pada
3 Maret ribuan orang bersenjata berkumpul di Tanjung Balai sebagai reaksi
desas-desus bahwa Belanda akan melakukan pendaratan. Mereka dikerahkan untuk mngepung
istana. Terjadi tembak menembak yang menimbulkan kekacauan dengan TRI dan
polisi yang rupanya mencoba melindungi istara. Mereka terpaksa akhirnya
menyerah dan istana itu diserbu, tetapi sultan yang muda dan gesit itu sempat
meloloskan diri. Sesudah pengejaran yang menegangkan, dengan bersembunyi di
rawa-rawa bakau dan tiga kali berenang menyeberangi sungai, akhirnya sultan ini
berhasil menyelamatkan diri pada suatu pos pengawal sisa tentara jepang, tujuh
belas hari kemudiannya.
Sementara
itu para pemuda mncari sasarannya yang lain. Tengku Musa adalah yang pertama
dalam daftar mereka. Dia dengan istri belandanya dan seisi rumah tangganya
disergap pada 3 Maret malam. Semuanya segera dibunuh. Besuk harinya semua
aristokrat melayu yang pria di kota itu ditangkap dan kemudian dibunuh juga.
Dalam beberapa hari sudah sekitar 140 orang kedapatan mati terbunuh dikota itu,
termasuk beberapa penghulu dan pegawai-pegawai didikan belanda, serta seluruh
kelas “tengku”. Sebagian besar janda dan anak-anak mereka mati ini kemudian
diasingkan dan rumah mereka digeledah untuk mencari harta. Istana dijadikan
gedung rakyat dan juga dijadikan markas yang mewah oleh Pesindo.
Tindakan
yang lebih ganas telah dilakukan di lima kerajaan kecil daerah Labuhan Batu,
jauh di Selatan Sumatra Timur. Menurut, suatu laporan persatuan perjuangan
kemudian, sebabnya ialah di daerah ini “raja-rajanya telah menindas tanpa kenal
batas terhadap rakyat dan kaum pergerakan”. Gerakan pertama pada 3 Maret hanya
dilancarkan pada ibukota distrik, Rantau Prapat, tempat kedudukan Sultan
Kualah. Wakil pemerintah NRI, Tengku Hasnan dan tiga pembantu utamanya disergap
pada tengah malam dan dibawa ke pinggir sungai yang curam untuk dibunuh. Tengku
Hasnan dan Tengku Long dipenggal kepalanya, sedangkan dua lainnya sempat lebih
dulu terjun ke sungai menyelamatkan dirinya. Pada waktu yang sama istana Sultan
Kualah di Tanjung Pasir dikepung, kemudian diserbu dan semua penghuninya
ditawan. Sultan yang tua serta berhati keras itu bersama salah seorang putranya
besoknya diketemukan sedang sekarat karena tusukan-tusukan tombak di kuburan
Cina. Beberapa pemuda membawanya ke “rumah sakit”, tetapi sejak itu dia tidak
pernah dijumpai lagi. Lain-lain orang pentinga dalam pemerintahan kerjaan juga
dibunuh dan keluarganya ditawan.
Tetapi
dikesultanan yang lebih besar— Deli, Serdang dan Langkat — persatuan perjuangan
menghadapi oposisi yang lebih keras. Kesultanan yang paling cukup terlindung
adalah Serdang, bukan saja karena sejarahnya yang relatif anti BBelanda, tetapi
juga karena pasukan TRI di Perbaungan, kota kedudukan sultan, berada di bawah
pimpinan Kapten Tengku Noerdin. Kapten ini adalah seorang aristokrat muda
Serdang, bekas perwira latihan Giyugun, dan kemenakan dari Tengku Nizam yang
menjadi ketua KNI daerah itu. Kapten Noerdin mendapat persetujuan dari Kolonel
Ahmad Tahir untuk mengambil kekuasaan di tangan sendiri. Pada 4 Maret,
peralihan kekuasaan cepat dirundingkan dan pejabat-pejabat kerajaan dan kaum
aristokratnya ditawan di istana dalam keadaan yang menyenangkan.
Istana
Sultan Deli yang terletak dekat “benteng” pertahanan sekutu di Medan, begitu
“Revolusi sosial” dimulai, begitu istana sudah berada dalam perlindungan
inggris. Pemuda-pemuda melayu yang diorganisasi PADI dengan persenjataannya
yang menyedihkan itu, bersama dengan pasukan ke-V yang persenjataannya lumayan
sudah siap membela datuk-datuknya. Istana Langkat dipertahankan oleh penjaga
istana langkat (PIL) yang pada bulan januari telah diberi Inggris sekitar 40
pucuk senjata. Pasukan ini menjai kuat lewat persekutuannya dengan pasukan
ke-V. Tugas pertama pemuda-pemuda revolusioner itu ialah menyapu bersih
kekuatan bersenjata ini.
Pertempuran
sengit berlangsung di Sunggal (Serbanyaman), di mana perpecahan yang mengandung
dendam sejak tahun 1942 itu tidak pernah bisa diatasi dan datuk yang berkuasa
disitu mempunyai senjata yang cukup. Pasukan Pesindo menyerang markas pasukan
ke-V pada malam 3 Maret, tetapi serangan ini telah dipukul mundur, dikabarkan
dengan meninggalkan delapan orang yang tewas. Sebagaian besar kaum
aristokratnya menyelamatkan diri ke istana Maimun Sultan Deli pada 4 Maret,
sehingga Pesindo hanya dapat menangkap dan membunuh Datuk Abbas. Pasukan
bersejata melayu di Sunggal terus mengadakan perlawanan sampai 6 Maret, tetapi
dengan kekalahan-kekalahan yang diderita pasukan ke-V dan pasukan PADI di
berbagai front, posisi mereka tidak bisa dipertahankan lagi. Pemimpinnya Datuk
Itam menyerahkan kekuasaan kepada pemimpin-pemimpin gerakan politik,
menyerahkan senjata-senjatanya dan cepat lari ke Medan. Inggris melaporkan dua
puluh orang yang mati dalam pertempuran di Sunggal, tetapi jumlah ini bertambah
lagi dua hari kemudian ketika lima orang melayu kembali ke Sunggal untuk mati
secara terhormat dengan jalan mengamuk membunuh musuh-musuhnya.
Di
Labuhan Deli juga terjadi pertempuran kecil-kecilan yang berakhir dengan
ditangkapnya sejumlah 40 orang melayu, termasuk pemimpin-pemimpin PADI dan
penghulu. Di mana-mana pasukan ke-V dipukul hancur. Pemimpinnya, Dr. Nainggolan
ditangkap, dimasukkan ke dalam karung untuk dibunuh. Tetapi dokter ini sempat
diselamatkan pada saat yang genting.
Betapapun, Dr. Nainggolan tidak dapat melupakan kepedihan hatinya atas
pembunuhan istri dan putrinya.
Istana
Langkat di Tanjung Pura adalah terlampau kuat bagi pemuda untuk dikuasai pada
penyerbuan pertama. Ketika tekanan-tekanan semakin memuncak di sekitar dirinya,
Sultan Langkat menolak untuk memberikan aba-aba yang sudah ditentukan lebih
dahulu untuk mendapatkan penyelamatan dirinya dari pasukan-pasukan Sekutu atau
Jepnag yang dekat dari Tanjung Pura. Tau akan bahaya-bahaya yang mengancam
seluruh aristokrat melayu didaerahnya apabila dia mengambil langkah itu, maka
sultan ini lebih memilih jaminan-jaminan dari Gubernur Hasan dan bekas dokter
pribadinya, Dr. Amir. Sementra itu, sejak 4 Maret, Pesindo Binjei mulai
menangkapi pejabat-pejabat kerajaan dan orang-orang Batak Sisikan Belanda dari
pasukan ke-V. Diantara yang pertama diambil dari rumahnya ialah Tengku Amir
Hamzah, yang secara resmi masih menjadi wakil pemerintah NRI.
D.
Revolusi
atau Perebutan Kekuasaan
Kekerasan
3 maret menghancurkan apa yang masih tersisa dari pemerintahan Republik di
Sumatra Timur.Pejabat-pejabat yang selamat lebih memilih mengurung dirinya di
rumahnya masing-masing.Keadaan seperti ini menjadi momentum para revolusioner
untuk melakukan perubahan dalam pemerintahan.Perubahan yang dimaksud adalah
menghapus kekuasaan yang feodal atau kerajaan menjadi kekuasaan yang demokrasi
atau berdasarkan kedaulatan rakyat.Tokoh-tokoh perubahan itu adalah
pemimpin-pemimpin PKI dalam pemerintahan,Luat Siregar dan Joenoes Nasution
sebagai posisi kunci denga Dr.Amir sebagai tokoh ideal yang melakukan perubahan
itu.Sebagai Pejabat Gubernur Dr.Amir bekerja keras dan menunjukkan
keberanian dengan memimpin
berturut-turut dari satu rapat ke rapat lain,mengeluarkan banyak pengumuman
Pemerintah.Dr.Amir bekerjasama dengan Inggris dan menyakinkan Inggris bahwa ia
dalah penganut komunis dan mencoba
berkhotbah didepan Pesindo dalam gaya dan bahasa revolusi.Tindakan Dr.Amir
seperti itu telah menunjukkan terjadinya Revolusi Sosial.
Lalu
Dr.Amir mengumumkan sebuah pengumuman.Dengan tiba-tiba seluruh rakyat Sumatra
Timur bertindak menegakkan keadilan dan memberantas kedzaliman didaerah
masing-masing.Hal itu menujukkan gerakan revolusi sosial yang hebat.Tindakan
rakyat untuk melakukan perubahan feodalis menjadi demokratis harus dilakukan
dengan perhitungan laba rugi supaya korban revolusi sosial sedikit.Gaya bahasa
Dr.Amir sama dengan gaya Luat Siregar.Dalam pengumuman disebutkan pengangkatan
Joenoes Nasution sebagai pejabat penanggug jawab daerah Sumatra Timur dan
Mr.Luat Siregar sebagai pejabat pendamai dengan kekuasaan penuh.KNI-KNI
setempat telah diminta kerja samanya
selama Mr.Luat mengunjungi setiap distrik.Pengumuman ini membingungkan posisi
TRI.Pengumuman itu hanya menyebut koordinasi antara pemerintahan baru,Persatuan
Perjuangan,KNI,TRI dan Kepolisian.Dalam terbitan Soeloeh Indonesia memuat
pengumuman Kolonel Ahmad Tahir bahwa TRI mengambil alih semua pemerintahan di
Sumatra Timur sejak tanggal 5 Maret ,kecuali kota Medan untuk menghormati
Sekutu.Kolonel Tahir dan penasihatnya merasa khawatir dengan tindakan anarki
itu.
Selama
Mr.Luat berkeliling,Dr.Amir dan Joenes Nasution memimpin serangkaian rapat
panas didekat Medan.Tanggal 6 Maret Dr.Amir mencoba meredakan permusuhan
Pesindo dengan menegaskan Pasukan ke V telah dibubarkan dan diserap kedalam
Partai Sosialis,sedangkan Pesindo berpura-pura menerima suatu dewan penasihat
yang terdiri dari cendekiawan-cendekiawan moderat untuk membenahi partai
itu.Besoknya diadakan rapat sengit di Medan untuk mencoba menyelesaiakan
masalah Kerajaan.Sementara KNI yang sudah diperluas dengan wakil-wakil semua
partai dan golongan-golongan pemuda membicarakan masalah ini,ribuan orang
membanjiri luar gedung untuk membubarkan Kerajaan.Beberapa menit
kemudian,Joenoes keluar dan menyampaikan pengumuman bahwa Kerajaan akan
dibubarkan dan kekuasaan akan dialihkan kepada Badan Pekerja KNI
Deli.Selanjutnya tokoh-tokoh Kerajaan ditangkap termasuk sekretaris Sultan Deli
Mr.Mahadi .Datuk Serbanyaman menyerahkan Kesultanan Deli kepada KNI.
Di
Langkat perpecahan dikalangan barisan pemuda menjadi penghalang terjadinya
restorasi kekuasaan yang cepat.Joenoes menghadiri rapat di Binjei yang juga
diganggu demonstrasi karena penghapusan sistem kerajaan tanpa penjelasan
penggantinya.Lalu rapat KNI dilaksanakan dengan memutuskan peralihan kekuasaan
dilaksanakan secara tertib .Tengku Saidi Husni bekas pejabat polisi ditetapkan
sebagai wakil Pemerintah NRI di Langkat.Di Tanah Karo berjalan lancar Karena
para pemuda terkemuka memutuskan untuk
mengajukan Rakuta Sembiring sebagai penguasa Republik yang baru.Sementara
menurut pengumuman Kolonel Ahmad Tahir ,Mayor Kasim Nasution ditunjuk sebagai
Kepala Pemerintahan.
Kunjungan
Mr.Luat sebagai pendamai pertama kali di Pemantang Siantar disertai Sarwono dan
Saleh Oemar/Dia menjelaskan bahwa sistem kerajaan dihapus karena mereka
terbukti berhubungan dengan Belanda.Pemilihan pemimpin pemerintah Kabupaten
Simalungun sangat hebat,setiap dari 30
organisasi yang hadir masing-masing mempunyai satu suara penuh.Urbanus
Pardede memenangkan dan Madja Poerba yang saat itu sedang menjabat jabatan itu
diangkat sebagai asisten Urbanus.Lalu Mr.Luat sampai di Tanjung Balai.Mereka
menyuruh supaya Abdullah Eteng dibebaskan dari tahanan rumahnya dan lansung
mengangkatnya sebagi wakil pemerintahan Asahan.Daerah Batu bara dilanggar
revolusi sosial dan rombongan Mr.Laut hanya mengawasi penangkapan raja-raja
kecil.Raja-raja ini ditahan di Pemantang Siantar dan dirampok.
Perjalanan
Mr.Luat dan rombongannya dilanjutkan ke Rantau Prapat.Revolusi berjalan lancar
dengan menangkap Sultan Bilah dan Sultan Kota Pinang.Lalu mencapai Labuhan
Bilik dengan Tiga tokoh Tengku ditangkap dan dibunuh.Ketika rombongan Laut
pergi mempunyai kesan bahwa Abdul Rachman sebagai wakil Republik ,tetapi ketika
Persatuan Perjuangan datang kesitu ternyata tidak ada pemimpin pejabat yang
bisa ditemui sehingga revolusinya dibenahi.Seminggu lamanya semangat
revolusioner berkecamuk di Sumatra Timur dan ada orang yang berani menghalanginya.Bahkan
gerakan Islam cepat mengikuti arus ini dan member kekuasaan untuk aktivis muda
dari Muhamadiyah yang anti Kerajaan.Tengku Jafizham ditangkap di stasiun
Medan.MIT menyatakan bahwa menjadi cabang Sumatra Timur dari Masjumi yang
berpusat di Jawa.H.A.R Sjihab (wasliyah),Yunan Nasution (Muhamadiyah) dan
Bachtiar Joenoes (Muhamadiyah dan Sabilillah).Tanggal 8 Maret ditetapakan hari
revolusi sosial pada setiap khotbah sembahyangan Jum’at.Yunan Nasution
mengatakan bahwa raja-raja telah membiarkan Islam terbelakang dan kolot.Di
Binjei para ulama Muhamadiyah berkhotbah di Mimbar dengan pedang seperti Nabi
Muhammad.
Besoknya
Dr.Amir memberimkuasa kepada pimpinan Masjumi unyuk mengambil alih kekuasaan
administrasi agama di Sumatra Timur dan menggantikan kadhi dari Kerajaan.Segera
mungkin Sjihab melaksanakan manadat dan melakukan pertemuan dengan 9 ulama tapi
semua ulama tidak mengerti tentang pembaharuan revolusi sosial.Para ulama
menerima Presiden Soekarno sebagai kepala pemerintahan yang sah.Tanggal 18 Maret diangkat kadhi-kadhi baru aliaran reformis
dan diberi kekuasaan.Hal itu melanggar kedaulatan rakyat karena tidak dipilih
rakyat.Masjumi tegas menjawab bahwa dalam urusan agama yang berdaulat adalah
Tuhan bukan rakyat.
Yang
paling bergairah memberi arah revolusioner selama Republik dalam keadaan kacau
adalah ERRI.Pemimpin ERRI datang kepada Dr.Amir 6 Maret denga tuntutan-tuntutan
yang pernah ditolak Gubernur Hasan,mereka mendapat pengakuan resmi.ERRI diberi
kekuasaan untuk mengatur perekonomian Sumatra.Lalu ERRI mengangkat inspector
pada setiap sector dan bertindak seolah-olah menjalankan semua fungsi
penghasilan pemerintah.Semua perkebunan dan perdagangan luar negeri diserahkan
kepada ERRI.Petugas-petugasnya berhasil memblokade daerah pendudukan sekutu di
Medan,menyita semua bahan makanan dan mengambil alih barang-barang pada
toko-toko Cina dan India dengan harga nominal.Di Aceh,ERRI mengenakan bea
ekspor dari Pelabuhan Meulaboh.Sebelum ERRI bubar ,organisasi ini mencoba
melaksanakan rencana luas dibidang kesehatan bagi seluruh Sumatra Timur dengan
mengerahkan tenaga medis dan obat-obatnya.
Hal
ini menunjukkan kemajuan sejarah tentang dialetikannya perkembangan menuju
masyarakat dan pengambilan barang didasarkan atas teori sama rata sama
rasa.Tokoh terbesar ERRI adalah Joenoes Nasution yang penguasaannya atas
marxisme sangat diragukan .Tiga kecaman pokok dari menteri-menteri penyebab
berakhirnya ERRI.Ketiga tuduhan itu adalah yang pertama tujuan ERRI mengambil
alih penghasilan negara supaya bisa membiayai partai plitik,pasukan pemuda dan
pemerintahan.Kedua adalah tokoh-tokoh ERRI dituduh mengambil jutaan rupiah
untuk kepentingan sendiri dan Ketiga adalah meniru cara Jepang menguasai dengan
paksa bahan makanan dari petani kecil yang menimbulkan penderitaan.Benar atau
tidaknya tuduhan-tuduhan itu yang pasti bahwa tujuan-tujuan ERRI membawanya
pada konflik-konflik dengan masalah ekonomi pemerintah atau organisasi pemuda.
E.
Reaksi
Seperti
dengan keras telah dipenringatkan oleh Crane Brinton, suatu reaksi Thermidore
bisa timbul pada setiap revolusi dengan hadirnya “kemerosotan moral” dan
“perlawanan terhadap mereka yang menciptakan teror”. Tetapi reaksi begini tidak
begitu saja dengan sendirinya bisa diatasi, mengubah mereka dalam sekejap mata
mendadak menjadi Napoleon-Napoleon.
Di
sumatera Timur reaksi ini mulai hanya sepuluh hari setelah dicetuskan “revolusi
sosial”itu sebagai tantangan langsung terhadap berita-berita mengenai
pembunuha–pembunuhan manusia itu. Karena pertumpahan darah itu terjadi mula
pertama di daerah terpencil jauh di selatan keresidenan, maka diperlukan
beberapa waktu sebelum orang di Medan menyadari akan akibat-akibatnya yang
begitu luas. Disamping itu, jatuhnya Singasana kesultanan Langkat yang megah
itu langsung menggegerkan seluruh elite politik di daerah ini.
Setelah
berunding dengan sultan mengenai penarikan mundur pengawal bersenjatanya dari
Tanjung Pura untuk menghindarkan konfrontasi, pada 8 Maret pemuda-pemuda PKI
dan Pesindo di bawah pimpinan bekas kader-kader kenkokutai mengepung istana
langkat. Pada tanggal 9 malam aliran listrik dimatikan dan istana diserbu.
Semua penghuninya digeledah dan ditangkap dan dua hari kemudian tujuh
Tengku-Tengku yang paling terkemuka dalam politik diangkut dan dipenggal mati
dan pemerkosaan terhadap dua putri sultan pada malam itu oleh pemimpin-pemimpin
pasukan. Para pelakunya harus membayar kembali perbuatannya sebulan kemudian
ketika pemuda-pemuda islam mengadili dan kemudian membunuh mereka. Sultannya
serta beserta keluarga wanitanya ditawan dan beberapa minggu kemudian
diserahkan pembesar-pembesar Republik di Brastagi. Yang kurang beruntung adalah
sekelompok aristokrat melayu dan tokoh-tokoh pasukan ke V yang ditangkap di
Binjei pada hari-hari pertama di “revolusi sosial” itu. Delapan belas diantara mereka
telah dibunuh atas perintah Pesindo pada 19-20 Maret termasuk Tengku Amir
Hamzah. Diperkirakan semuanya berjumlah tiga puluh delapan bangsawan Langkat
mengalami nasib pembunuhan.
Kejadian-kejadian
sampingan di Langkat menyebabkan mereka ragu-ragu karena revolusi sosial itu
telah bertindak terlampui jauh. Suatu bentuk tekanan yangsifatnya lain sekrang
ditimpakan kepada Dr. Amir terutama oleh Dr. Gindo Siregar yang sementara itu
telah menjadi tokoh kuat dalam partai Sosialisnya Sjahrir. Juga tekanan dilakukan
oleh jaksa yang bersikap keras di Asahan, Mutalib Moro, seorang tokoh yang
selamat terhindar dari kekerasan revolusi oleh karena kesanggupan melayani
semangat pemuda dan keperayaannya akan bantuan gaib. Dr Amir mengumumkan rapat
KNI dan Persatuan Perjuangan pada 13 Maret dengan harapan revolusi sosial kita
ini tidak saja merupakan pembasmian dan penghancuran tetapi juga akan
menghasilkan kehidupan baru bagi rakyat. Kemudianrapat itu dengan hormat
menarik kembali mandat Joenes sebagai residen dan Luat Siregar sebagai pendamai
dan seterusnya memilih suatu Dewan Pemerintah terdiri 5 orang tokoh-tokoh
radikalnya (Joenes dan Saleh Oemar) akan tetap kalah suara dari tiga lainnya
yang ingin kekerasan diakhiri. Dewan Pemerintah ini akhirnya dapat memilih Dr.
Gindo Siregar sebagai ketuanya yang akan bertindak sebagai residen dan Mutalib
Moro sebagai wakilnya.
Tetapi
Joenes Nasution tidak menyerah tanpa berjuang. Sehari sesudah rapat sekelompok
pemuda mengancam pejabat gubernur Dr Amir yang malang itu di rumahnya. Beliau
hampir saja menyerah. Dia sempat menyampaikan pendapat kepada panglima sekutu
“jika tentara sekutu dapat memberi pelajaran kepada pemuda-pemuda ekstremis,
kedudukannya akan dipermudah. Kemudian dia memanggil rapat pemimpin-pemimpin
politik dan menawarkan pemberhentiannya sesuai dengan keinginan rakyat. Tetapi
rakyat berpegang kepada keputusan rapat 13 Maret yang lalu yakni mengesahkan
keinginan rakyat Langkat dan mengangkat Adnan Nur Lubis (PNI) sebagai
pemerintah wilayah itu..
Ketika
Gubernur Hasan kembali di Medan pada 21 Maret sudah jelas hubungan antara satu
barisan bersenjata pemuda yang lainnya sudah mencapai puncak-puncak ketegangan.
“Hanya kebijaksanaan yang luar biasa dapat mencegah terjadinya pertempuran”
demikian diumumkannya. Desas-desus yangs semakin santer mengenai kudeta
terhadap Mr. Hasan meyakinkan gubernur ini akan lebih aman di Pematang Siantar,
satu-satunya kota TRI yang kuat untuk melindunginya.
Mr.
Hasan berada di medan perang sampai adanya rapat dengan pemimpin-pemimpin politik
penting dimana diputuskan dia tetap menjadi gubernur, paling sedikit sampai
sidang KNI seluruh Sumatera yang akan datang Di Bukit Tinggi. Rapat itu juga
menerima baik tuntutan Kolonel Tahir supaya TRI mengambil alih kekuasaan
pemerintahan.
Meskipun
Tahir menyongkong gerakan terhadap raja-raja itu, tetapi sejak semula dia sudah
dapat diduga menjadi pemimpin pemuda yang pertama secara terang-terangan keras
bahwa memperingatkan bahwa “Kedaulatab rakyat itu tak dapat dan tak boleh
dipergunakan untuk menurutkan hawa nafsu. Tahir mempunyai hubungan pribadi
dengan istana serdang dan paman dari istrinya menjadi korban pembunuhan di
Asahan. Sebagai angkatan bersenjata paling berdisiplin, TRI juga berhasil
menarik kaum aristokrat dan nasionalis konserbatif berlindung di bawah
payungnya. Anarki seperti yang terjadi di Langkat dan Asahan jelas dikutuk
mereka. Baik di Siantar maupun di Langkat, pasukan TRI siap bertempur.
Pilihan
Kolonel Tahir memimpin pemerintahan militer jatuh pada Sutan Sjahrir, Mahruzar.
Dewan Pemerintah yang terdiri lima anggota ditentukan sebagai badan penasehat
Mahruzar. Untungnya mahruzar sama saja dengan pendahulunya Gindo Siregar yang
bisa menguasai situasi.
Timbul
kecurigaan bahwa pemerintahan militer itu telah mempermudah pasukan-pasukan TRI
dan sementara pemimpin untuk memperkaya dirinya. Dalam tempo seminggu pemimpin
Medan yang pantas dikasihani itu mulai goyang kepercayaanya terhadap TRI
disebabkan kembalinya Xarim M>S pada 26 Maret dan tibanya Mr. Hasan beserta
rombongannya. Lalu Xarim segera memerintahkan gubernur itu di Medan untuk
mengadakan rapat pada tanggal 30 Maret. Rapat ini antaralain memutuskan telah
tiba saatnya TRI kembali kepada tugas-tugasnya, tetapi masalah pokok yang
sedang dihadapi sekarang berapa kuatnya tekanan yang diberikan TRI kepada Mr.
Hasan atau Dr. Amir pada saat-saat tertentu, ketimbang tekanan dari barisan
radikal. Pada kunjungan berikutnya ke Medan untuk menyambut Amir Sjarifuddin
pada 9April atas namaPersatuan Perjuangan Sarwono telah memerintahkan Mr. Hasan
menandatangani dekrit berakhirnya pemerintahan militer dan meresmikan Mr. Luat
sebagai residen.
Kembalinya
Xerim yang terlambat itu membawa kesempatan baru untuk menekan arah yang lebih
jelas kepada revolusi sosial. Anggota-anggota PKI memegang posisi kunci dalam
pemerinthan di ERRI di pers dan Persatuan Perjuangan . PKI menjadi lebih kuat
dengan pasang naiknya suasana revolusioner.
Bakat
Xarim lebih menonjol sebagai pemimpin yang memiliki kharisma dari pada strategi
revolusi, tetapi ada sebab lain yang membikin dia tidak mempergunakan
kesempatan dalam situsasi itu yakni etelah kembalinya dari peninjauan ke
seluruh Sumatera. Seperti juga tokoh-tokoh pentig marxis di Jawa dia lebih
menumpahkan pikiran kepada perjuangan nasional dan perjuangan untuk memegang kepemimpinan
Republik ketimbang revolusi sosial. Dia juga tidak memiliki pendidikan di Eropa
dan kehalusan yang membikin Amir Sjarifuddin dll dapat diterima oleh golongan
elite nasional dan sekutu. Akhirnya bagaimnapun juga revolusi di Sumatera timur
itu merupakan bagian dari satu keseluruhan yang lebih besar dan campur
tangannya Pemerintah Pusat dalam hal ini sudah tentu menghambat kepentingan
perjuangan kaum kiri.
Tindakan
kekerasan meningkat secara menyolok pada Maret dimana pasukan Inggris
menghadapi perlawanan yang paling gigih sejak datangnya mereka untuk menyerang
Tanjung Morawa pada 9-10 Maret. Suatu gerakan sapu bersih Inggris terhadap
markas-markas TRI setempat pada 18 Maret telah dijawab dengan ultimatum yang
mengan dung kemarahan dari pemimpin-pemmpin gerakan revolusioner yang mengancam
akan menghancurkan semua bangunan Inggris dan semua Belanda kan mereka tawan
apabila pemuda-pemuda yang mereka tangkap tidak dibebaskan. Yang lebih
menggawatkan lagi berhasilnya pemboikotan ERRI dan pemuda yang mencegah
penyaluran tenaga kerja dan bahan makanan ke kamp-kamp sekutu.
Seorang
pengarang belanda yang menjadi serdadu , Laurens van der post memboyong 3
menteri Republik dan selusin tokoh politik serta pejaba-pejabat dengan pesawat
udarainggris ke Medan pada 9 April. Bagi Sjahrir, Amir Sjariffuddin dan
kawan-kawannya di Partai Sosialis “revolusi sosial” di Sumatera Timur itu
ternyata telah sangat membahayakan martabat republik di dalam negeri dan luar
negeri. Popularitas tan Malaka di kalangan kaum revolusioner di Sumatera Timur
yang penangkapannya berulang kali telah diminta keterangannya dari Amir
Sjahriffudin telah menyingkirkan sisa harapan para tamu agung itu untuk
mengambil sikap positif terhadap gejolak pergolakan yang menyambut mereka di
Medan. Ketiga menteri itu (Amir, Natsir dan Rasjidi) memberikan pesan yang sama
kepada rapat-rapat yang gaduh yang
diperlukan sekarang yakni dukungan yang setia kepada pemerintah.
Dalam
delegasi Pemerintah Pusat dari Jogya ada tokoh marxis, Mr. Amir Sjarifuddin dan
Mr. Abdulmadjid Djojoadiningrat yang kemudian mewakili sayab pra Moskow dari
Partai soialis dan Soebadio Sastrosatomo dan sayapnya Sjahrir. Di rapat-rapat
umum maupun dalam pertemuan-pertemuan tersendiri mereka ini mencoba meyakinkan
Pki dan Pesindo bahwa tahap revolusi sekarang adalah tahap revolusi nasional,
bukan revolusi sosial dimana doktrin dimitrov.
.
Kremlin masih menuntut adanya
penggalangan front bersama melawan fasisme dan imperialisme. Xarim dan Luat
tetap tidak bisa diyakinkan malah mengancam tamu-tamu sebagai orang kiri
romantis yang “kekanak-kanakan”, melibatkan diri sebebas-bebasnya dalam
merayu-rayu rakyat dan lebih mementingkan kesenangan duniawi. Waktu tiga hari
bagi di Medan rupanya sudah cukup bagi Amir menyimpulkan bahwa Pemerintah pusat
harus menyongkong Mr. Hasan sebagai gubernur .
Rapat-rapat
raksasa diadakan di Medan dan Siantar . praktis seluruh penduduk kota tumplek
ke lapangan raksasa pada 11 April. Amir sendiri di ejek. Kunjungannya ke
Sumatera ini merupakan titik balik dalam arah revolusi di sumatera timur.
Pimpinan seluruh Sumatera dari Persatuan Perjuangan yang telah menggerakkan
revolusi sosial dan sebagian mereka yang telah bernoda reputasinya. Sesudah
rombongan Mr. Amir Sjarifuddin meninggalkan daerah itu mereka mengumpulkan
pemimpin dari kedelapan distrik barisan pemudanya. Dalam rapat Mamicus
Hoetasoit panjang lebar mengupas jalannya revolusi sosial bahwa ketidakadilan
tidak bis adiberantas dengan prbuatan yang bergelimang . sesudah debat ramai
akhirna pertemuan ini mengambil keputusa PP berdiri teguh di belakang
pemerintah. Sekarang terdapat tiga macam kekuasaan di Sumatera Timur yakni
Pemerintah , Persatuan perjuangan dan “barisan liar dan gelap”. Dua pertama
telah memutuskan kerja sama yang satunya terus memperlemahpersatuan dengan
perebutan-perebutan kekuasaan dan provokasi. Dr. Amir kembali ditunjuk sebagai
gubernur. Joenes Nasution tifdak buang waktu kembali menterornya untuk
menjalankan tindakan yang lebih radikal. Pada 20 aprilAmir merencanakan
penyelamatan diri dari suana tembak dan rampok ini terjadi setiap hari di dekat
Pasar Sentral Medan. Pada 25 April Dia mencari perlindungan tidak kepada publik
tetapi kepada pengawalan Inggris. Dr. Amir menyebutkan bahwa Sumatera tidak ada
persatuan dan mengatakan apa yang dinamakannya golongan mahaekstremis dan
mahakomunis yang dipimpin Joenes nasution telah mencoba memaningnya berangkat
ke Siantaruntuk melibatkannya dalam suatu kudeta terhadap Mr. Hasan. Tidaklah
sulit untuk memahami ketakutan Dr. Amir. Keterangan bahwa suatu kudeta terhadap
Gubernur Hasan telah direncanakan juga telah diperkuat oleh
keterangan-keterangan sumber lain. Joenes dan pemimpin-pemimpin laninnya
memberikan serangan-serangan pidat tajam. Di kota Siantar Joenes dan Nathan
membentuk suatu dewan nasional. Untuk mengimbangi pimpinan Persatuan
Perjuangan. Kemudian tersiar kabar golongan ini menculik Mr. Hasan
Hasan
sampai di Siantar 27 april disertai seketaris Kementrian Dalam Negeri Republik,
mr. Hermani rombongan menteri-menteri jawa berangkat pulang untuk
pengorganisasian kembali pemerintahan Sumatera.mereka hanya disuguhkan kue dari
tepung beras agar mengetahui seberapa besar penderitaan rakyat.
Rupanya
rencana kudeta itu telah buyar.Joenes Nasution ditangkap dan pendukungnya juga
pada 25 april malam. TRI dll pasukan panya sudah diberitahu rencana itu dan
tepat pada waktunya telah membendung cap Rante. Sebelumnya Tri dengan Cap Rante
tembak menembak akhirnya Kolonel Tahrir berhasil menangkap Urbanus Pardede
karena peranannya dalam peristiwa ini.
Beberapa
laporan bahwa Xarim menjadi calon pengganti Gubernur hassan dan bahwa dia Luat
Siregar telah dikonsultasikan sebelum gerakan itu tetapi sumber lain mengatakan
bahwa kedua tokoh moderat PKI ini juga akan ditangkap bersama Mr. Hassan. Yang
benar adalah bahwa terjadi perpecahanparah dalam barisan PKI. Kegagalan
kepemimpinan partai ini mengakibatkan semkain hilang tempat terpijaknya.
Pukulan revolusi itu akhirnya tuntas.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ideologi komunis bergerak dan
disebarkan secara massif, utamanya terhadap rakyat-rakyat kecil. Tak hanya
itu, Kelompok komunis bahkan mampu
menginfiltrasi hingga ke elit-elit kaum pergerakan. Kaum komunis ini mengelompok
kedalam berbagai organisasi seperti Pesindo, Barisan Harimau Liar, Gerindo, PKI
dan kelompok bersenjata lainnya. Mereka semua tergabung kedalam folksfront,
yang menjadi motor dalam aksi pembantaian. Kondisi itu ditambah lagi dengan
keinginan Jepang untuk menghapuskan kesultanan Melayu yang dianggap lebih
mendukung Belanda. Jepang tidak ingin kekayaan alam di Sumatera Timur dikuasai
bangsa Eropa. Karena itu pula, Jepang memanfaatkan para pemuda yang memiliki
semangat revolusi untuk melenyapkan kesultanan.
Namun, Revolusi yang mengorbankan ratusan
dan bahkan ribuan nyawa tersebut tidak memberikan banyak hasil bagi kehidupan
rakyat. Memang ada kerja-kerja positif yang terjadi, yakni persamaan dan
persaudaraan, jauh lebih sulit. Namun dua ciri dari periode ini tampak mencuat.
Pertama, sistem “demokrasi langsung” dalam arti rapat umum raksasa berhasil
menuntut bahwa kerajaan segera dinyatakan dihapus dan dalam beberapa hal
berhasil memilih atau mencapai kata sepakat mengenai pejabat-pejabat baru pada
saat itu juga. Dalam bidang ekonomi, Ekonomi Rakyat republik Indonesia (ERRI)
mengambil alih perkebunan karet dan tembakau, fasilitas pengangkutan, pemasukan
dari perdagangan luar negeri dan dari bea cukai dan hampir segalanya yang dapat
direbut dari pihak yang bertanggung jawab sebelumnya.
Sebagaimana dikutip dari Reid
(2011), dari kerusuhan revolusi di Sumatera Timur ini, tidak ada pemenang yang
muncul (di Aceh ada, yakni elit Islam). Reputasi semua pemimpin penting dirusak
oleh kekacauan yang ditimbulkan “revolusi sosial”, sehingga kekuasaan nyata
semakin banyak yang jatuh ketangan kelompok-kelompok pemuda bersenjata dan terpisah-pisah satu
sama lain dan dipimpin oleh pemuda-pemuda berusia tidak lebih dari 20 keatas.
Sepanjang 1946-1947 mereka seringkali bertempur satu sama lain memperebutkan
wilayah, kendali atas perkebunan karet dan harta yang telah disita dari
istana-istana kesultanan.
Daftar
Pustaka
http://ikhti.blogspot.com/2013/06/revolusi-sosial-di-sumatera-timur_25.html
google.com
Anthony
Reid. 1987 .Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra.
Jakarta : Muliasari
Kesimpulan akhir menunjukkan bahwa pemuda itu tidak lebih dari para preman yang menganggap diri mereka adalah pahlawan. Efeknya masih kita rasakan sampai sekarang dimana preman-preman masih merajalela di sumatra timur.
BalasHapus